Selasa, 01 Mei 2012

"I know THE SECRET, but......."




Setiap orang pasti punya beberapa rahasia dalam hidupnya. Aku ingin berbagi rahasiaku padamu, karena itu bukan rahasia lagi. Mungkin tidak semuanya, karena aku belum terbiasa menuliskannya. Semuanya sebenarnya banyak ditulis dibuku-buku motivasi & inspirasi, fiksi maupun non fiksi. Yang aku anggap rahasia, adalah beberapa keyakinan yang sering aku dengung-dengungkan di jiwa & pikiranku sendiri, setiap aku melakukan sesuatu, setiap aku terbentur pada peristiwa-peristiwa yang mengganggu atau membuatku berpikir lebih keras. Aku sering sekali menganalisa perkataan & sikap seseorang.Juga menganalisa kejadiaan, sebab akibatnya: kenapa aku begini, oohh karena aku begitu, kenapa orang ini begini, oohh karena dia melakukan itu.....

Padahal aku tahu, banyak perkataan atau sikap (yang notebene mengganggu) tidak harus kita simpan dalam memori kita seluruhnya. Ketika aku mulai mengingatnya, merasainya lebih dalam, aku mulai memercayainya, & sering, itu lebih banyak mengganggu daripada menenangkan. Bukankah aku juga harus mengakui, bahwa analisaku tidak selalu tepat? Ketika aku mulai berpikir negatif tentang seseorang, aku mulai meracuni diriku sendiri sekaligus mengundang energi negatif itu sendiri menjadi kenyataan.

Di era fesbuk ini, aku jadi terbiasa membaca pikiran orang-orang. Menikmati apa yang ada di pikiran orang lain (& diriku sendiri), bahasa yang mereka (& aku sendiri) pakai, keputusan yang mereka (& aku) ambil, sikap mereka (& aku) terhadap suatu kejadian..

Aku menganggap ini rahasia, padahal itu bukan. Karena aku pikir ini 'resep', dimana aku diberi pilihan untuk menebus resep itu & mendapatkan obatnya, atau tidak menebus resep itu & aku tidak mendapat obat lalu 'sakit'.

Jika aku menulis status di fesbuk tentang rasa sakit yang aku alami, misalnya "Kepalaku pusing, kemarin kehujanan, kayaknya mau flu nih" ,....sebenarnya aku mengundang penyakit Flu itu datang padaku.
Jika aku menulis,"Cintaku telah pergi, aku patah hati, aku sakit hati"....sebenarnya engkau membawa cinta itu benar-benar pergi & mengundang rasa sakit yg lebih dalam. Karena apa?karena setiap orang yang membaca status kita, akan mengirimkan energinya kembali kepada kita. "OOhhh, si imel mau flu! Oohh si imel lagi patah hati...Jika banyak orang memikirkan diri kita, dengan keadaan kita karena membaca curahan hati kita, ... hhmmm just be careful,..if we are not strong enough, U'll b drowned deeper.

Ada juga yang kecewa atau marah-marah terhadap pasangannya di fesbuk...hhmmm..."ini bukan tempatnya, 'honey'," kecuali kamu ingin masalahmu semakin rumit. Tapi di era 'curhat' seperti sekarang, sepertinya semua orang berlomba-lomba mencurahkan isi hatinya. Semuanya ingin dikeluarkan, bahkan orang-orang yang kelihatannya introvert, sekarang mudah mengatakan sedang jatuh cinta pada seseorang, sedang patah hati karena dikecewakan, sedang marah pada sahabatnya,, sedang geram pd saudaranya. Ini tidak hanya di status-status anak ABG, tapi juga yang berumur cukup.

Apa itu salah??Aku tidak bilang demikian! Karena rahasiaku, belum tentu rahasiamu. Resep untukku, belum tentu cocok untuk mengobatimu. Ada yang menganggap setelah mengungkapkan semua isi hatinya, dia jadi lebih lega. Betul!! tapi menurutku, katakanlah hanya pada orang yang kamu percayai, curhatlah pada seseorang yang kamu anggap paling bisa menerima curhatmu. Sering, yang paling bisa menerima curhatmu, baik kesedihan atau kemarahanmu, kegundahanmu, rasa sakitmu, ADALAH JIWAMU SENDIRI. Katakanlah itu pada dirimu sendiri, dia akan mendengarkan dengan baik. Ketimbang kau curahkan pada "dunia", lalu kau mendapat komentar-komentar 'lucu' atau bahkan kau kecewa ketika tidak ada yang berkomentar.. Katakanlah itu hanya pada sahabat setiamu.


I know the secret, but............adalah judul yang aku pilih, karena aku juga belum bisa sepenuhhati melakukannya..kadang aku ingat, kadang aku terbawa arus.... Kadang aku kuat, tapi takut aku khilaf...

Sekali lagi, ini rahasiaku....bukan rahasiamu..jadi jangan percaya aku...Percayalah pada apa yang ingin kamu percayai...

salam,
sahabatmu,
dirimu sendiri!

"Belajar itu ada harganya, Mbak"


Cerita singkat:


Tadi sore di dalam angkot 09 jurusan kebayoran baru, bertemu dengan sepasang suami istri yang membeli manequin/patung pajangan. karena saya baru membeli sepasang manequin second alias bekas, saya langsung bertanya untuk tahu harganya.

"Bu, berapa harganya satu manequin??"
"Rp 23,000 ribu, Mbak," kata si Ibu...
"Hhhhaaaaaa Rp23,000???kagetku...
"Iya, mbak...kenapa?"
Wah saya habis beli manequin second satunya Rp 25,000, sudah kotor pula...Berarti saya ditipu ya Bu, kataku sedih..
"Mbak, baru ya jualan??" tanya si Bapak..
"Iya, Pak, kalo soal manequin atau jualan baju saya memang belum pengalaman" lirih saya.
" Mbak...ngga apa-apa...kata si Bapak tenang.."Kalo baru belajar memang ada harganya, mbak....sekolah aja pakai uang, mbak.....kadang rugi sedikit ngga apa-apa..masih untung mbaknya belum rugi jutaan," katanya bijak.

Aku tertegun.....sampai saat ini pun, kata2 si Bapak masih terngiang di pikiranku...

Terima kasih, Pak.....Terima kasih...
Aku tidak akan melupakan kata-kata itu....


untuk :Bapak&Ibu, penjual baju di Pasar Meruya

Buat Suster Cecilio, CB


Monday, February 1, 2010 at 8:57pm ·

Dan yang tersisa cuma kenangan indah bersamanya, selama 3 th tinggal 1 atap, berdoa setiap hari, menemani belajar malamku dengan mata elangnya, teriakannya utk tidak menyeret kaki ketika berjalan, kaki harus dilipat kalo duduk di gereja, sendok nggak boleh bunyi saat makan, tamparan sayangnya ketika aku pingsan, senyum sumringahnya krn aku selalu rangking 1, teriakannya ketika aku menangis krn putus cinta saat SMA, dan dia, akan selalu kukenang...sampai akhir hayatku.selamat jalan Sr. Cecilio...Terima kasih sudah menjadi bagian dalam hidupku, pembentuk karakter terbesar diriku saat ini,maaf kan aku tidak bisa menciummu utk terakhir kalinya.....Suster... baik2 ya....salam sayang, anakmu...

Senyumku & Arvind di Hari Kartini...




Rabu, 21 April 2010 (HARI KARTINI di SEKOLAH ARVIND)

Siang ini aku tidak bisa tidur siang. Setelah terus mengeluskan tanganku ke kepala Arvind, anak laki-lakiku tercinta, yang akhirnya tertidur penuh bahagia, hasrat menulisku sudah tidak bisa ditahan.Mungkin karena terlalu bahagia & tidak percaya. Sedari pulang sekolah, kami berdua, aku & Arvind, tidak bisa berhenti tersenyum.

Dari tadi malam, aku sudah uring-uringan dengan suamiku, apa yang harus aku buat untuk lomba Art Performance di Sekolah Arvind, dari bahan kotak susu bekas, dalam rangka hari Kartini. Pasalnya, dari aku kecil, aku paling tidak suka buat prakarya/kerajinan tangan di sekolah. Pasti Mamaku lah yang membuatkannya, mungkin karena dulu kakakku sangat kreatif & pandai dalam hal kerajinan tangan/prakarya, jadi aku sebagai adik selalu minder dibanding-bandingkan dengan kehebatan kakakku. Aku lebih suka olahraga atau permainan. Suamiku sampai berkata,”Kalo buat sesuatu harus think out of the box…haduh..dibilang begitu, aku tambah senewen. Akhirnya, dia menyarankan buat lapangan bola, karena dari kotak susu MILO yang kami punya, sudah ada gambar anak laki-laki menendang bola. OK, sudah dapat idenya. Pasrah saja, karena dari kecil aku sudah tidak terlalu berharap menang lomba, apalagi kalo berhubungan dengan seni & kerajinan. Nothing to lose…

Walau agak telat sampai di sekolah, Arvind sudah enjoy berada dengan teman-temannya. Malah mau bernyanyi “Baba Black Sheep” di tengah teman-temannya. Tibalah saatnya Ms. Marlyn, Kepala Sekolah Arvind mengumumkan bahwa perlombaan akan dimulai, dan akan dinilai langsung dari TIM KREATIF TV HAPPY HOLY KIDS. Aku sih tidak peduli mau dinilai siapapun, yang penting anakku sudah enjoy di sekolahnya. Aku tanya anakku,”Vin, kita mau buat Messi main bola ya di lapangan bola??” “Ngga mau , Ma, aku mau buat kandang anjing aja..”, jawab anakku. “Wah, kalo kandang anjing, kotak susunya kekecilan..nanti anjing arvind ngga muat masuk kandangnya..” “Kandang anjing ya Ma,”tegas anakku.

Buyar sudah bayangan membuat lapangan bola yang sudah ada di kepalaku.Katanya Nothing to lose, tapi kok masih deg-degan...hmmm dasar ibu-ibu..... Detik-detik berlalu. Anakku juga membantu aku menggunting kotak susunya, menempel kertas krepnya, menggunting benang Woolnya. Kandang sudah jadi. Lalu anjingnya??Ya sudah terpaksa buat anjing dari kardus kotak susu. Sederhana, tapi lumayan ada kepala & badan. Rambut&ekornya dari benang Wool, mata hidungnya dari manik-manik. Semua bahan sudah disediakan guru-guru di sekolah, kami cuma membawa kotak susunya. Selesai.

Beberapa teman Arvind mulai tertarik dengan kandang anjing itu. Ada yang mencopot anjingnya, yang sudah ku lem di depan kandang. “Haduuhh…kacau nih pikirku..tapi anakku juga malah jadi main-mainan di kandang itu. “Ma, ini hujan, anjingnya harus masuk kandang..” Aku bilang, “Ngga usah, anjingnya lagi jaga rumah.”(dengan harapan anjing itu tidak ditarik lagi karena sudah ku lem di atas kardus, kalo ditarik, aku takut rusak..) Tapi ternyata teman Arvind sudah ada yang langsung menariknya, tanpa bisa kucegah. Untung tidak rusak, ngeriku..

Akhirnya, 1 jam waktu yang ditentukan selesai. Tim Kreatif TV Happy Holy Kids menilai, anakku main dengan teman-temannya. Setelah menunggu, akhirnya pengumuman tiba. Dimulai dari kelas Toddler, disebutkan Juara I,II,III. Anakku yang gelisah. “Ma, Arvind juara ngga?” "Belum tahu!,jawabku.

Lalu mulailah kelas Nursery, kelas anakku. Ada 10 anak yang ikut lomba dari kelas Nursery. Wah, berat pikirku. Akh, aku kan tidak berharap apa-apa. Anakku pun sudah kelelahan minta pulang. Tapi aku tahan sedikit. Akhirnya dimulai dari Juara III, “VEREN” anak baru yang berkarya dengan papanya membuat robot. Lalu, Juara II, “CHELSEA” dengan karya Lemari Baju nya yang cantik..Saat diumumkan juara II, aku sudah lemes, hehehe..dalam hati ternyata aku pengen juara juga, walaupun hanya juara III hehehe..

Lalu, Ms. Marlyn, menyebutkan, The First Winner is F…. ARVIND Krisanto…..aduh…aku lemes banget dengernya..Pengen menangis, tapi malu, tapi sudah senang sekali melihat anakku berkata,”Ma, Arvind juara?? Setengah bertanya, setengah menegaskan…”Ma, kandang anjing Arvind keren??” Heehe..iya kandang anjing Arvind keren sekali dapat juara I.

Sayangnya, aku tidak membawa kamera tadi. Jadi aku tidak bisa mendokumentasikan kebahagiaan Arvind & aku. Sebenarnya karya kami jauh dari rapi & bagus. Tapi aku yakin itu karena anakku ikut membantu membuatnya, bukan semata-mata buatan aku, Mamanya.

Anakku, hari ini Mama bahagia sekali. Kami rayakan sambil duduk-duduk makan siang dipinggir danau di perumahan Vila Dago & langsung menelpon Papa. “Pa, Arvind juara I kandang anjingnya.” Suamiku tertawa lepas..."Wah,. mamanya bisa juga kan buat prakarya," sindir & pujinya. Hehehe....
Seperti biasa, setiap pulang sekolah, aku harus mengajak Arvind putar-putar di perumahan Vila Dago untuk melihat anjing-anjing yang dipelihara disana. Hhmm….ternyata, kandang anjing itu membawa kebahagiaan buatku & anakku.

(Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia)

Corat-coret dini hari



(Curhat dong......hehehe..kayak mau Curhat ke Mamah Dedeh aja..)

Setelah melahirkan Arvind, 2006, aku mulai disibukkan dengan bacaan-bacaan parenting. Tabloid Nakita rutin aku beli setiap Senin, walau tidak berlangganan. Sepertinya aku kehausan ilmu menjadi seorang Ibu. Tidak hanya Nakita, tapi juga majalah-majalah parenting lain yang harganya termasuk tidak murah buat ukuran aku, pokoknya setiap melihat cover majalah yang ada Ibu & Anak nya pasti aku ngiler untuk membelinya, walau belakangan aku lebih suka membeli majalah-majalah parenting itu di lapak majalah/buku bekas, hehe…lebih murah hanya @Rp3000 saja satu majalah, yang penting isinya masih update soal parenting.

Tidak hanya majalah, DVD-DVD Brainy Baby lengkap aku beli untuk Arvind, yang kebetulan juga suka nonton dari usia 6 bulan, (mungkin turunan papa mamanya yang hobi nonton juga) dan sampai sekarang sudah tidak terhitung lagi koleksi DVD yang Arvind punya, dari Barney, Elmo, The Wiggles, Dora The Explorer, Diego, National Geography untuk dokumenter K9 to 5 (Serial Anjing), film-film bertema anjing, dan banyak lagi.

Dulu aku berpikir, (setelah mendengar beberapa selentingan juga) , jangan terlalu banyak nonton TV, ngga bagus. Ya bener juga sih, kalau nontonnya sinetron atau infotainment, bela ku dalam hati. Apalagi setelah aku baca di buku, dari hasil survey, anak-anak yang suka nonton, dalam tanda kutip film atau tontonan yang mendidik, jauh lebih baik (jika tidak mau dianggap lebih pintar) ketimbang yang tidak mendapat stimulasi apa-apa. (ya jelas lah hehehe). Dan anakku juga bukan tipe penonton yang duduk diam seperti patung, sambil melongo menatap layar TV, tanpa ekspresi. Sampai usianya yang ke-4 sekarang, kami masih rutin membeli DVD untuk dia, dan tentunya merasa wajib berlangganan Indovision, (walau harus mengencangkan ikat pinggang kami orang tuanya), karena tidak banyak hiburan untuk anak di stasiun televisi kita, kalaupun ada masih harus dipotong atau di-cut dengan iklan yang seabreg-abreg.

Hhmm..aku menuliskan ini, setelah aku tidak bisa tidur lagi..hehehe..seperti biasa, jika aku tidak bisa tidur, itu berarti kepalaku sudah penuh dengan pikiran-pikiranku sendiri, dan harus aku tumpahkan. Mungkin ini karena tadi siang anakku mulai beraksi, menjadi seorang “Magician”, dan dia show off di depan mamanya, dalam bahasa Inggris. Aku tercenung lama..dalam hati bangga sekali melihat dia bergaya sambil cas-cis-cus dengan bahasanya sendiri, karena aku tidak mengajarkan dia seperti itu. Mungkin dia lihat di TV pikirku.

Aku mulai kembali ke masa lalu. Dari tadi siang, aku banyak melamun tentang masa-masa kami tinggal di kontrakan di daerah Rawa Belong, di mana Arvind mulai tinggal. Yah..ternyata usahaku menunjuk-nunjukkan kata-kata dalam bahasa Inggris dari karton poster yang dijual Rp 1000-an per lembar itu, sudah gamblang terlihat hasilnya sekarang.

Dulu, aku rajin menempelkan dinding rumah kontrakan kami dengan poster-poster karton tentang Binatang, Sayuran, Alat-alat Transportasi, Alat-alat Musik, Huruf, Abjad, Bentuk, apapun..dari kamar, ruang tengah dan ruang tamu penuh dengan tempelan poster itu..Sampai abang penjual poster itu, selalu menawarkan jika ada poster baru, hehe..”Sudah penuh mas, sudah nggak ada tempat buat nempel.” Tapi tetap kubeli juga. Dari 4 bulan, sejak lehernya sudah tegak, aku sudah tunjukkan gambar dan namanya dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia, ditambah lagi dengan suara-suaranya jika itu tentang binatang, atau alat transportasi. Misal, gambar Anjing, sambil menunjukkan gambar anjingnya,aku bilang,”Ini Anjing, bahasa Inggrisnya DOG, guk..guk..guk..” kalo sudah ditambah “guk..guk..guk.. Arvind pasti ketawa..atau ini Kereta, bahasa Inggrisnya TRAIN, tcu..tcu..caga..caga..tcu..tcu..” .

Ternyata, dulu aku juga rajin ngoceh sambil jalan memberitahu Arvind semua yang aku lihat berikut bahasa Inggrisnya. Misalnya, lihat mobil, aku bilang itu mobil, bahasa Inggrisnya “CAR”, itu rumah bahasa Inggrisnya “House”, mungkin excited jadi ibu pertama kali, yang membuat aku tidak bosan ngoceh sama Arvind, walau hasilnya tidak tampak sampai suatu ketika dia berumur 8 bulan, saat
pagi- pagi, ketika kami jalan di gang Zakaria yang sempit itu, Arvind mengucapkan kata “RABBIT” pertamanya, ketika kami melewati rumah tetangga kami yang memelihara kelinci. Aku terpana..ha..dia sudah bisa bilang “RABBIT”..walaupun lebih ke “ABBIT” karena huruf “R” nya belum jelas. Aku senangnya bukan main. Kata ke dua yang Arvind ucapkan adalah “BEE”, karena aku sering bacakan dia buku tentang Lebah juga. Waktu itu, papanya Arvind sedang tugas di Surabaya, jadi mungkin selama 6 bulan ditinggal papanya Arvind, aku ngoceh terus dengan Arvind, karena tidak punya teman bicara di rumah kontrakan itu. Waktu ditelpon papa Arvind dari Surabaya, aku suruh papanya tanya ke Arvind, “Arvind bahasa Inggrisnya lebah apa?” Tanpa lama-lama, Arvind langsung jawab,”BEE”…(itu di usianya yang ke-8 bulan) ..wah..ternyata anakku mendengarkan & menyerapnya..

Menurut Glenn Doman, berikan saja, jangan di tes. Aku juga berusaha tidak nge-tes lagi anakku untuk tahu perkembangannya, sampai di usianya 1 tahun 20 hari, dia aku ajak ke sekolah TK Kuncup Harapan, milik sepupu Arvind yang sedang ada lomba cerdas-cermat bahasa Inggris anak-anak TK. Karena dengan pengeras suara, kami yang di luar juga mendengar aktivitas lomba tersebut. Saat ibu guru itu bertanya ke peserta lomba,”Apa bahasa Inggrisnya, Anjing?” Tiba-tiba Arvind menjawab dari gendonganku,”DOG.” Aku terhenyak. “Kucing?”, Arvind jawab “CAT”. Jadi, dari luar sekolah, Arvind ikut menjawab pertanyaan ibu guru tadi dan waktu itu aku hitung dia bisa sebut 10 kata dengan benar. “Ohh my GOD..ternyata anakku sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Lewat 10 hari, sudah 20 kata bahasa Inggris dia sebutkan, berarti di usia dia 1 tahun 20 hari. Ini semua bisa kuingat, karena aku mencatat peristiwa bersejarah ini dalam bukuku.

Tentunya, mengajarkan bahasa Inggris pada anakku, bukan tanpa cibiran miring. Apalagi dulu kami tinggal di daerah perkampungan padat penduduk yang hanya dibatasi dengan gang-gang sempit. Bukan apa-apa, rumah kontrakan kami tepat berada di pertigaan, yang hanya dibatasi selokan/got selebar kurang dari 1 m. Anak-anak kampung Rawa Belong sekitar rumah kontrakan kami, dulu suka mengintip dari jendela, tulisan-tulisan yang aku tempel di dinding. Mereka kebanyakan usia 5-8tahun. Karena di SD juga sudah mulai dikenalkan bahasa Inggris, mereka jadi asyik membaca tulisan-tulisan di dinding rumahku itu. Anak-anak itulah yang sering bertanya ke Arvind, bahasa Inggrisnya Sapi apa,Vind? Lalu Arvind jawab dari balik jendela.

Waktu itu Arvind memang dikenal pintar bahasa Inggris di kampung itu hehehe..aku awalnya bangga, sampai suatu saat, aku naik ojek, si tukang ojek bilang, “Bu, apa ngga kasihan sama anaknya dipaksa belajar bahasa Inggris??” Aku jawab, ngga bang, anaknya suka kok. “Wah, Bu, anak bayi kok udah disuruh ngapalin gitu bu, namanya memforsir anak!” timpal si tukang ojek. Waduh, rasanya mau lompat aja aku dari motor itu, bukannya sedih, tapi aku marah dalam hati. Enak aja dia bilang begitu..Tapi aku pikir-pikir,aku ngga punya waktu banyak untuk bicara ke tukang ojek itu, karena harus segera turun, padahal aku mau bilang, otak itu kalo ngga dipake/diisi, ya jadi memble..pikirku senewen. Tapi ya susah, ngajak diskusi orang yang sudah punya pola sendiri.

Ini bukan hanya dari tukang ojek. Tapi dari mantan bos ku juga heheehehe..(maaf ya Pak, kalo Bapak baca..). Waktu itu, sempat ketemu dengan mantan bos ku, dan kebetulan aku bawa Arvind. Waktu itu aku maksudnya mau pamer, “Wah..Arvind udah bisa bahasa Inggris loh Pak, nama-nama binatang hampir bisa semua. “Sebelum sempat menunjukkan kebolehan anakku, bos ku itu sudah berkomentar,”Buat apa toh Mel, ngajarin bahasa Inggris ke anak bayi..emang penting??..kenalin dulu bahasa Ibunya..” . Aku bilang, iya, Arvind juga sudah bisa bahasa Indonesia kok, itu kan bahasa yang aku pakai sehari-hari ke dia. “Iya, tapi apa perlu ngajarin bahasa Inggris sekarang? Dia ngga butuh kok!!” Tek, aku langsung kesel juga saat itu. Tapi, aku pikir apa gunanya kesel, toh nasi sudah jadi bubur. Arvind sudah terlanjur banyak tahu, masak aku harus meratapi ocehan-ocehanku selama 0-1 tahun itu…

Yang aku rasakan sekarang, aku tidak menyesal sama sekali. Aku bersyukur, karena Arvind tidak tertekan. Dia bahkan sering mengajak aku bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Jika aku jawab pake bahasa Indonesia, arvind mengulangi pertanyaannya hehehe…Jika dia sekarang banyak mengerti isi cerita dari film yang dia tonton, aku yakin juga karena kumpulan kosa kata yang sudah dia kuasai. Bahkan waktu itu, masih 3,5 tahun, Arvind sudah bilang,”Hey, what’s your big idea?” Yang ternyata dia dapat dari ungkapan yang dipakai Donald Duck, jika dia senewen. Padahal, waktu itu aku pikir arvind bertanya, Apa pikiran/ide besarku ? hehehe…itu kalo aku terjemahin secara kata per kata… tapi Arvind sudah tahu penempatan kalimat itu ,”Maksud lu apa sih??” kasarnya gitu hehehe…

Yang aku lakukan, sebenarnya belum seberapa. Bisa bahasa Inggris juga bukan hal luar biasa lagi yang harus disombongkan. Bahkan menguasai 4-6 bahasa sekaligus, adalah hal menyenangkan buat anak-anak, termasuk menguasai bahasa daerah orang tuanya. Apapun yang menyenangkan buat anak, akan mudah dia serap. Apapun yang aku lakukan, aku tahu pasti aku sangat menyayangi anakku, bukan untuk mengeksploitasinya. Dengan segala keterbatasan mama, sayangku, terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik mama selama 4 tahun ini.

Dini hari, 28 Mei 2010





Va' dove ti porta il cuore (Pergilah Ke Mana Hati Membawamu)



“PERGILAH KE MANA HATI MEMBAWAMU…”
(Va’ dove ti porta il cuore )

Novel Italia karya Susanna Tamaro ini sangat berkesan buatku, selain aku menghadiri acara launching buku pertamanya di Kedutaan Besar Italia (6 tahun lalu), buku ini juga sanggup membuatku beruraian airmata. Karena cara menguraikan rasa yang dialihbahasakan oleh Antonius Sudiarja, SJ dalam buku ini, sangat menyentuhku. Ketika apa yang kita rasakan, tidak bisa dipahami oleh orang lain, ketika yang tidak paham itu merasa lebih berhak menentukan kapan airmataku harus menetes atau tidak, ketika yang berusaha mendamaikan itu malah menjadi pemisah dari cinta yang cuma bisa kami rasakan sendiri dalam kebisuan, ketika  hanya buku atau tulisan yang bisa mengungkapkannya dengan lebih baik, ketimbang harus berbicara dengan kalimat yang lebih sering menjadi kemarahan, karena berusaha mencari pembenaran dari hati yang masih terluka.

Seperti halnya buku Alkemis (Paulo Coelho) setiap aku terkesan akan satu buku, aku sering menghadiahkan buku itu buat orang-orang terdekatku, dan seperti buku Alkemis pula (yang hilang), aku harus kehilangan buku “Pergilah Kemana Hati Membawamu” ini ketika aku meminjamkannya pada orang lain. Tapi aku selalu tidak pernah menyesal telah banyak kehilangan buku, apalagi jika buku itu adalah buku yang bagus menurutku, hanya jika buku itu tidak teronggok di satu tempat, dan kehilangan jasanya sebagai penghibur jiwa.  Tadi malam, aku meminta lagi buku itu pada suamiku tercinta, (tempat aku bisa mendapatkan banyak buku ^_^ )untuk menyebarkan pengantar buku ini, melalui fesbuk, yang mudah-mudahan ada beberapa sahabatku & saudaraku di sana, yang tergerak membacanya.

(Begini PENGANTAR nya : oleh A. Sudiarja, SJ, p.11-18)

Kisah ini bercerita tentang Olga yang telah dua bulan ditinggal cucunya ke Amerika. Entah dimana dia berada, Olga tidak tahu. Sebaliknya sang cucu juga tidak tahu neneknya baru saja terkena serangan jantung dan mungkin tidak akan lama lagi hidupnya. Namun Olga memutuskan tidak akan memanggil cucunya pulang. Sebagai gantinya, ia menulis buku harian-atau lebih tepat “pengakuan”-mengenai kisah hidupnya, masa lalunya, perasaan-perasaannya, cinta, kekecewaan, dan penyesalannya terhadap cucunya. Pendek kata seluruh muatan batin yang disimpannya diungkapkannya kepada sang cucu, dengan harapan bila kelak cucunya pulang dan tidak mendapatinya lagi, sang cucu akan membaca buku hariannya ini dan memahami dirinya.

Mungkin tidak selalu mudah mengikuti seluruh penuturan Olga, tokoh utama novel ini, selain karena ia sering bertutur dengan alur kilas balik, juga karena dalam tulisannya tidak jarang ia menyisipkan gagasan filsafat. Namun bagi pembaca yang tidak sekedar puas dengan isi cerita, gagasan filsafat semacam itu adalah bagian keindahan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya keindahan karya sastra meliputi juga isi gagasan, yang sering tidak cukup atau bahkan tak dapat diungkapkan dengan bahasa logis & sistematis, karena gagasan itu menyangkut kehidupan yang amat kaya. Dengan demikian , meskipun ada gagasan yang mendalam dalam karya ini, gagasan ini bukanlah “roti dari satu adonan yang mengenyangkan”, melainkan “racikan dan olahan dari berbagai bahan yang memberi kekayaan rasa”. Dengan kata lain, gagasan yang mungkin muncul dalam novel ini-berbeda dari traktat filsafat-justru merangsang pembaca untuk merenungi lebih jauh mister kehidupan.

NOVEL PEREMPUAN
Dalam seluruh penuturannya, novel ini adalah novel perempuan. Pelaku utamanya, Olga, menulis buku harian bagi cucunya, yang juga perempuan. Olga membuka kartu, bercerita mengenai penderitaannya sebagai perempuan di tengah keluarganya; kisah perkawinannya dengan Augusto, yang sekedar mengikuti tradisi; cinta sejatinya kepada Ernesto, yang dalam pandangan umum dinilai negatif;juga tentang Ilaria putrinya, seorang pemberontak dan feminis radikal; mengenai penderitaan perempuan pada umumnya, ibunya sendiri dan neneknya; dan kenangannya yang indah selama hidup bersama cucunya, yang sekarang meninggalkannya seorang diri. Dengan ringkas novel ini bercerita mengenai penderitaan dan kesepian seorang perempuan.

Dalam penuturannya, Olga sangat peduli pada aspek perempuan. Ketika ia membongkar gudang di loteng, ia menemukan barang-barang lama yang disimpan keluarga. Ia mengeluarkan cetakan kue tar dan segera saja perasaannya bicara,

“Cetakan ini milik nenekku, jadi nenek buyutmu dan itulah satu-satunya benda yang tersisa dari seluruh sejarah perempuan keluarga kita. Karena tersimpan lama di loteng, benda itu penuh karat. Jadi segera saja aku membawanya ke dapur, meletakkannya di bak cuci, dan mencoba mencucinya dengan menggunakan tanganku yang masih sehat dan penggosok yang sesuai. Bayangkan beberapa kali selama ini benda itu telah keluar-masuk oven, berapa oven berbeda dab selalu lebih modern yang telah ia saksikan, berapa banyak tangan berbeda namun toh sama yang telah mengisinya dengan adonan. Kali ini aku membawanya turun agar ia hidup lagi, agar kau dapat menggunakannya dan mungkin, pada giliranmu kau akan meninggalkannya untuk digunakan oleh anak-anak perempuanmu, karena sejarah cetakan kue sederhana inimerangkum dan mencerminkan sejarah generasi-generasi dalam keluarga kita..” Kepedulian itu memuncak menjadi semacam perasaan protes yang ditulis dengan tegas.

“Ketidakbahagiaan biasanya mengikuti garis perempuan; menurun dari ibu ke anak perempuannya, laksana kelainan genetika. Dan bukannya melemah dari generasi ke generasi, kelainan itu malah semakin kuat, sulit dilenyapkan dan dalam. Bagi lelaki, masalahnya sangat berbeda, mereka memiliki karir, politik, perangmereka, meereka bisa menyalurkan energi mereka. Kita tidak.Selama ratusan generasi kita hanya berkutat dari kamar tidur, dapur dan kamar mandi;kita telah mengambil ribuan langkah dan gerakan, dan setiap langkah&gerakan memiliki kemarahan dan ketidakpuasan yang sama. Apakah aku telah menajdi feminis?Tidak, jangan kawatir, aku hanya mencoba melihat dengan jelas ada apa dibalik semua ini..”

KEJUJURAN DAN REKONSILIASI
Akan tetapi ciri perempuan dalam novel ini tidak hanya terletak pada pelakunya yang perempuan, melainkan juga nuansa yang dibaurkannya. Pemikiran dan pembicaraanyang termuat di dalamnya memperlihatkan “kedalaman”, yang sering tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Kedalaman inilah yang memungkinkan keintiman dalam hubungan manusia. Di dunia yang serbalelaki dan patriarkis, ekintiman ditekan, disembunyikan, tidak pantas dibicarakna, memalukan. Pdhal keintiman inilah yang sekarang kita butuhkan yang mendukung kita untuk bertahan dalam kehidupan yang keras dan berat. Pengakuan Olga melukiskan kedalaman jiwa, kehidupan batin intim yang ia miliki, yang ingin ia sampaikan kepada cucunya.

Haruskah orang-orang mengatakan apa adanya mengenai seluruh pengalaman hidupnya? Akan tetapi masalahnya tidaklah sederhana. Ketulusan dan kejujuran rupanya bukan sekedar imperatif moral yang harus diterapkan pada semua orang, melainkan bentuk komunikasi yang juga membutuhkan kesiapan hati masyarakat lingkunngannya. Betapa sering kita mendengar, masyarakat tak peduli terhadap pengakuan seseorang atau tak mau tahu tentang alasan-alasan mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu. Lalu untuk apa ia mengaku?

Kejujuran tidak bisa dipaksa keluar melalui interogasi atau model pengalihan. Kejujuran memerlukan wilayah di mana orang saling percaya; saling percaya merupakan habitat di mana kejujuran bisa lahir. Inilah perjuangan Olga, yang ingin menuliskan pengakuannya. Selama 17 tahun ia berbohong atau lebih tepatnya menutup mulut mengenai kenyataan; Apakah itu bukannya justru mengejutkan dan merusak tatanan keluarganya?

Olga melukiskan tumbuhnya perbedaan antara ia dan cucunya seperti kulit kerang yang semakin lama semakin mengeras membungkus diri setiap manusia. Semakin tua seseorang, kulit kerang itu semakin keras, ketat, dan menyesakkan, sampai pada suatu saat, karena ia tidak mampu lagi menampung tubuh kehidupan, kulit kerang itupun lantas pecah dan menciptakan luka.

Sang nenek dan cucunya mempunyai fase hidup yang berbeda dalam pertumbuhan kulit kerang mereka. “Jadi saat aku berkata keretakan alami terjadi diantara kita, seperti itulah yang kumaksudkan. Saat kulit kerangmu mulai terbentuk, kulit kerangku mulai pecah-pecah. Kau tidak tahan menghadapi airmataku dan aku tidak tahan menghadapi kekerasan hatimu…”

Puncak rekonsiliasi ini termuat di bagian akhir novel. Setelah dengan hati-hati Olga menu mpahkan perasaannya, ia memohon agar dirinya dipahami dan dimaafkan. “ Belas kasih, kataku, bukan sikap mengasihani!!Jikalau kau mengasihani diriku, maka aku akan kembali sebagai orang jahat dan menyusahkanmu.”

Ia berharap cucunya tidak mengadili kesalahan-kesalahannya di masa lalu, tetapi mengampuninya. Dan Olga berharap cucunya dapat mengikuti kata hatinya sendiri, untuk pergi ke mana pun hati itu membawanya.Akhir kisah ini memberikan kiasan yang kuat, betapa Olga sebagai generasi lampau harus merelakan cucunya, generasi yang baru, untuk melangkah memasuki era baru, mengikuti hatinya sendiri. 

-END-
(kadang yang diharapkan untuk terus berjalan adalah diam sejenak, bukan penghakiman)
LOVE U MOM...
Dan kelak, disaat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil, janganlah kau memilih asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. ....Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu...

Aku, Ibu Rumah Tangga




Teman-temanku para Ibu Bekerja yang super & baik hati,
(sedikit terkontaminasi salamnya Mario Teguh…)
Biasanya, menjelang lebaran begini, status fesbuk teman-temanku yang memiliki pekerjaan hebat di luar rumah, mulai diisi dengan kalimat-kalimat seperti ini: “Siap tempur menjadi pembantu & baby sitter”, “Wah pembantu mudik, aku mudik juga akh ke rumah orangtua…”. Tahun lalu saja aku hitung lebih dari 10 perempuan-perempuan cantik berkarir luar biasa itu, sepanjang 1-2 minggu statusnya cuma keluhan menjadi “Si INEM” atau “Si UPIK ABU” …

Ini berkaitan. Tiga minggu yang lalu, aku berkunjung ke rumah orangtua ku di Kampung Sawah. Seperti biasa, setiap ke sana, aku mengajak Arvind berdoa di depan patung Bunda Maria di belakang gereja (karena dari doa Novena di sanalah, aku mendapatkan Arvind, anak pertamaku). Di depan sekretariat Paroki, aku kaget bertemu dengan teman kuliahku di Sanata Dharma. “Loh..kok ada di sini? Kerja disini ya? Anak Sanata Dharma kan?” Lalu dia menjawab,”Ya..ya..ya..aku ingat kamu kok, anak bahasa Inggris kan? Loh, kamu kok bisa di sini? Dia langsung bertanya, “Sekarang kerja dimana?”   Aku jawab,”Sekarang di rumah urus anak.”

Yang aku kaget adalah respon temanku itu,”Aduhhh…sayang banget ya, kenapa ngga kerja???Kan banyak pekerjaan buat jadi guru atau apa…Sayang banget lohh, padahal lulusan PBI kan gampang cari kerja…”   Hhmm, aku bilang, aku jadi guru anak-anakku dulu..hehehe…(walau dalam hati gelisah juga dengan respon temanku itu). Lalu aku ganti bertanya,” Kamu kerja disini? Lalu dia bilang,”Iya, aku sudah setahun di sini..,tapi sebentar lagi mau pindah ke Kota Baru di Jogja.” Tiba-tiba ada seorang Bapak lewat dan berkata,” Romo, bisa bicara sebentar?”   Loh..aku yang jadi kaget..”Loh, kamu jadi Romo di sini??” – tanpa sadar, aku masih pake kata “kamu”….. -  Kok bisa??
Oalahhh..ternyata temanku yang menyayangkan kenapa aku tidak bekerja itu, sudah jadi Romo/Pastor.

Dari dua situasi itu, aku ingin menulis ini.

Menjadi Ibu Rumah Tangga, adalah pilihan hidupku, sama seperti pilihan kalian bekerja di luar rumah, walau telah memiliki anak. Mungkin pengaruh petuah Mamaku dulu yang pernah berkata,”Kalo lu punya anak, kalo bisa lu yang didik anak lu sendiri, bukan pembantu/baby sitter. Kalo bisa sampai dia SD. Kecuali ”laki lu” istilah mamaku untuk menyebut “suami”, kagak kerja, baru lu kerja. Karena dasar didikan itu yang penting, setelah anak lu SMP, lu udah ngga bisa lagi membentuk karakternya..” Begitu mamaku bilang.

Pasti ini masalah dilematis bagi setiap Ibu di seluruh dunia. Di satu sisi, sudah sekolah sampai Sarjana, masa ilmunya tidak dipakai buat cari uang, di sisi lain, ketika sudah memiliki anak, gelisah ketika anak harus diasuh oleh baby sitter/pembantu.

Sama denganku. Setelah memiliki anak, kita mulai dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata banyak keinginan & kebutuhan yang mulai muncul. Semuanya serba untuk anak. Aku bahkan sudah hampir kehilangan selera ke salon, beli baju yang modis, apalagi beli maskara hehehe (kosmetikku cuma bedak & lipstik-lipstik saja jarang sekali kupakai). Kalau aku bekerja, pasti bisa lebih enak hidup kami, pikirku.

Ketika anak bertambah besar, makin dihadapkan harus nabung untuk biaya pendidikan, pengen sekolah yang bagus (tapi mahal), pengen kursus in anak ini-itu supaya dia banyak kebisaan, pengen beliin mainan anak yang edukatif (juga ngga murah), pengen beliin buku-buku anak yang dari luar negeri, yang kebanyakan hard cover itu (tahu sendiri yang suka ke Toko Buku harganya).  Aku memang tidak fokus membelikan anakku pakaian/baju,  aku lebih pusing memikirkan pendidikan dia.

Tapi yang lebih mendukung aku adalah suamiku, yang memilihkan aku pilihan (dan mendukung pilihanku juga) untuk tidak meninggalkan anakku pada baby sitter/pembantu. Bukan berarti suamiku kaya raya, sehingga aku “enak-enakan” di rumah (istilah yang sering dipakai beberapa teman lama yang tidak bertemu denganku ketika tahu aku tidak bekerja “Wah, enak ya, nggak kerja …” ^_^ ) . (dalam hati aku bilang, Oohh kalian pikir kalo di rumah itu ngga kerja ya hehehehe…

Tapi mensyukuri pendapatan suami kita dan berterima kasih karena masih bisa makan 3 kali sehari, masih bisa berpakaian, jalan-jalan sesekali, memiliki rumah sendiri, bisa menyekolahkan anak, adalah KEKAYAAN, buatku.

Eits, siapa bilang “enak-enakan”….

Hhhmm, buktinya ketika para perempuan berkarir itu dihadapkan pada pekerjaan rumah (yang seharusnya memang pekerjaannya, karena itu rumahnya), kebanyakan dari kita sudah mengeluh. (termasuk aku tentunya).

Dan ketika kita dihadapkan pada pekerjaan merawat anak (yang seharusnya memang kita yang rawat, karena dia anak kita), kita mulai mengeluh lagi. (termasuk aku tentunya)

Kita memang mencintai anak kita, tapi ketika dia sudah mulai mengeluarkan seluruh mainannya, menumpahkan makanan di lantai, merengek minta ini itu, aku yakin....”itu tidak enak”.  Jika semua jenis pekerjaan rumah itu di-run down disini, ditambah mengasuh anak, jika kita tidak IKHLASbelieve me,TIDAK ADA YANG ‘ENAK-ENAKAN’ DI RUMAH.
Satu lagi, aku sering bertanya dalam hati (sering juga ngobrol dengan suamiku), “ Bukankah pekerjaan pembantu atau baby sitter itu sangat mulia?? Kenapa sekarang banyak perempuan yang bekerja di luar sana sering berkata ,”Wah, gue mulai jadi si Inem…ketika pembantunya mudik?? Menurutku pernyataan itu, (walau sebenarnya kamu tahu betapa besar jasa Inem membantu kamu) ada konotasi “merendahkan” disana  (walau maksudmu pasti, sebenarnya tidak..).  

Pertanyaannya,”Sebenarnya itu pekerjaan siapa sih??Bukankah itu anakmu sendiri?rumahmu atau rumah kontrakanmu sendiri? Yang memang seharusnya kamu yang melakukannya. Apa dengan membayar  upah Rp 300,000-Rp 600,000 untuk jasa mereka, kamu sudah menurunkan derajatmu sebagai seorang perempuan karir ketika menggantikan tugas Si Inem (yang sehakikinya adalah tugasmu sebagai Ibu???)

Hehehe…Maaf ya..biasalah..pembelaan diri itu seringnya malah kelihatan jadi menghakimi. Aku tidak bermaksud menghakimi kalian. Aku tidak lebih baik dari kalian, cuma alangkah indahnya membaca status-status di fesbuk dari hati perempuan-perempuan yang hepi ketika dia mandi keringat mencuci, mengepel, ketimbang mengeluh pada banyak orang bahwa kamu si Upik Abu

 Aku yakin, kalian adalah PEREMPUAN-PEREMPUAN LUAR BIASA. Bisa menopang kehidupan keluarga, kalian adalah perempuan-perempuan modern yang tidak mau terkungkung di rumah saja, bisa mengaktualisasi diri, bisa mencukupi kebutuhan kalian sendiri & keluarga, bisa mencerdaskan bangsa dengan menjadi guru, merawat bangsa dengan menjadi dokter, perawat, bahkan ada yang harus jadi tulang punggung keluarga, yang membuatmu WAJIB BEKERJA, karena kalau tidak, anak-anakmu tidak bisa minum susu.

Tetaplah, temanku, IKHLASlah dalam pekerjaan kantormu, hormatilah pembantu & baby sitter mu, dan tersenyumlah pada para ibu rumah tangga yang bahagia menjalankan pilihan hidupnya. Siapapun kita, aku yakin, tidak ada yang enak-enakan di kantor atau di rumah.

Kita, PEREMPUAN, punya 1000 tangan untuk kehidupan.