Selasa, 01 Mei 2012

Evan Satu Tahun


5 Oktober 2010

Hampir setahun yang lalu, temanku Dewi, menyuruhku menuliskan pengalamanku melahirkan. Dulu masih cape mau menuliskannya,dan sekarang rasanya sudah lupa bagaimana dulu melahirkan. Hehehehe..Tapi karena hari ini Evan ulang tahun, aku coba menuliskan kisahnya.

Saat hamil Evan, aku masih bolak-balik antar jemput Arvind sekolah dengan sepeda motor. Ada 3 kali Arvind terpaksa tidak sekolah, karena aku kena morning sickness. Tapi sekuat mungkin, aku tetap mengantarkannya sendiri ke sekolah. Sampai memasuki bulan ke 9 pun aku masih naik motor, karena menurut Dr kandunganku, itu tidak masalah, selama aku tidak jatuh dari motor. Yang aku hentikan saat hamil Evan adalah aktivitas jualan batik dan buku lewat fesbuk/onlineshop. Masalahnya selain fisik yang kekuatannya menurun, aku belum ada pembantu yang bisa aku titipi Arvind jika aku harus belanja keperluan onlineshopku. Selama ini Arvind selalu aku bawa ke pasar tanah abang untuk membeli batik jualanku, jika mendadak harus pulang sekolah, dengan kereta api kami pergi. Awalnya masih kuat, tapi lama kelamaan aku tidak mau ambil resiko kelelahan terlalu banyak jalan dan angkat beban (karena jika membawa arvind belanja, kadang jika dia tertidur di jalan, aku harus memangku dan menggendongnya). Padahal stasiun tanah abang dilengkapi dengan (bukan eskalator) tangga yang sangat tinggi, naik dan turun, turun dan naik. Pernah masih di tri semester pertama, Arvind aku bawa juga ke tanah abang, karena sudah banyak kenal dan akrab dengan para SPG toko, kadang Arvind aku tinggal dengan mereka saat aku masih harus mencari baju yang lain. Arvind sendiri kelihatannya senang-senang saja, selama dia diajak ngobrol oleh mbak-mbak itu.

Kembali ke Evan. Selama hamil aku ganti 4 kali dokter kandungan. Hehehe..memang "rada-rada" aku ini, libra nya masih kuat, banyak pertimbangan. Tapi aku kan sekarang Virgo, jika astronomi penambahan bintang berlaku hehehe..kok jadi ngomongin bintang. Akhirnya, aku sampai ke Dr. Didi Danukusumo. (aku sudah pernah tulis notes juga tentang beliau). Selama periksa ke RS Yadika ini, arvind selalu ikut menemani aku periksa. Dia jadi tahu perkembangan Evan dari bulan ke bulan. Dr. Didi sudah mengkondisikan aku untuk siap-siap melahirkan normal, begitu dilihat persyaratan untuk melahirkan normal bisa aku lakukan. Ketebalan dinding rahimku sudah cukup tebal setelah operasi tahun 2006, jalan lahir cukup, air ketuban cukup, posisi kepala Evan juga sudah di bawah terus. Tinggal menyiapkan mental, yang ini memang aku bernyali jirih. Karena jarang sakit, maka ketika ada rasa sakit muncul, aku biasanya senewen. Ini kelemahan orang sehat, kata mamaku. Begitu kena sakit, dia jadi sedih dan gelisah, yang membuat pikirannya negatif. Aku pun jadi tidak tahan dengan rasa mules yang muncul berkali-kali.

Tanggal 3 Oktober tiba-tiba aku berniat memindah-mindahkan tempat tidur, merapikan buku-buku yang bertebaran di kamar, beres-beres ruang belakang. Mondar-mandir sambil menggeser-geser tempat tidur, membuat aku mengalami kontraksi. Makinlama mulesnya makin terasa. Beda dengan saat-saat melahirkan Arvind yang tidak aku rasakan. Waktu Arvind yang aku rasakan adalah pinggangku/tulang belakangku yang sakit, bukan mules seperti kontraksi. Aku mulai panik, karena belum punya nama untuk anak keduaku ini. Kali ini tugasku yang mencari nama. Kemarin-kemarin aku masih tenang-tenang saja, karena HPL (Hari Perkiraan Lahir) ku adalah tanggal "triple ten" 10-10-2010. Jadi kupikir masih ada seminggu mencari-cari nama. Akhirnya aku punya feeling ini tidak lama lagi. Aku mulai bingung, minta saran dari suamiku. Akhirnya pakai buku nama-nama bayi juga. Jam hampir jam 00 tanggal 4 Oktober akhirnya dapat nama EVAN. Artinya Tuhan Maha Pemurah. Terdengar enak diucapkan, dan ada mirip-mirip dengan nama Arvind, kakaknya. Karena aku pikir tanggal 4 Oktiber, akhrinya nama baptisnya nanti adalah Francis (untuk St. Fransiskus dari Asisi), dan Indivara (dari suamiku) yang artinya blue lotus (karena Arvind berarti red lotus, pencerahan).

Jam 01.30,4 Oktober 2010, aku pikir sudah semakin sering mules. Kami panggil taxi, dan meluncur ke RS. DokterDidi ku sms, dan langsung dijawab. Wahh hebat sekali Dr Didi ini, dia masih bisa membalas sms ku pagi-pagi. Aku sedikit tegang, karena ini pengalaman pertamaku untuk berusaha melahirkan normal.

Jika mau di flash back, aku tidak perlu ke RS sepagi itu, harusnya aku bertahan di rumah, sambil jalan-jalan. Mungkin menunggu sampai pecah air ketuban. Dan benar saja, sampai di RS, aku malah semakin tidak tenang.Aku ditangani oleh bidan yang mengantuk, yang tidak senyum sama sekali, tidak banyak bicara. Saat diperiksa dalam pun tanpa basa-basi lagi. Aku kaget sekali waktu itu. Masih lama, kata bidan itu ketus. Hmhhhmm sepertinya banyak bidan rata-rata ketus ya, dulu waktu mau melahirkan Arvind juga bidannya kurang ramah. Waktu kakakku melahirkan juga begitu. Menurut mamaku, jadi bidan itu tidak enak. Tiap hari mendengar jeritan ibu-ibu, saat menolong melahirkan, mereka (bidan) yang ditarik-tarik, dijambak rambutnya, kadang ditendang. Akhirnya aku berusaha fokuskan pikiranku untuk tetap positif terhadap mereka. Berusaha memaklumi pekerjaan beratnya.

Yang aku salut dengan arvind adalah, dia setia menunggui aku. Dia ikut tidur disamping ranjangku, padahal aku kerap teriak-teriak atau meringis kesakitan. Arvind itu anak terkasihku.

Hhmm jadi begini rasanya mules mau melahirkan. Tidak enak sama sekali. Belum lagi darah yang keluar berkali-kali. Risih sekali. Pagi Dr. Didi periksa, hhmm masih nanti sore sekitar jam 15.00 kata beliau. Sering-sering jalan saja, putar kanan kiri. Tapi menunggu sampai jam 15.00 itu adalah masa-masa penantian terpanjangku. Sebagai orang yang tidak sabaran, aku gelisah sekali. cape tapi tidak bisa tidur. Jam 15.00 akhirnya datang, tapi bukaan ku tidak beranjak banyak. Lalu jam 17.00, tidak ada perubahan. Jam 19.00 baru naik 2 bukaan. Kakak adik papaku datang. Arvind sudah dibawa ke rumah eyangnya di depok. Aku makin senewen karena semakin mules. Senewen karena bukaan tidak cepat bertambah, padahal aku sudah berjalan keliling kamar2 di RS tersebut. Doa-doa sudah sulit aku ucapkan. Aku cuma berkata,"Aku kuat. AKu kuat. AKu sabar. Aku sabar. Aku kuat. Aku tenang. Kuat.Kuat.Tenang. Iklas. "teruuss aku ucapkan itu. Adik kakakku sibuk memijat aku, mendoakan aku, menyanyikan aku. Sudah lewat jam 22.00..masih dibukaan 7. Aku sudah cape, mata mengantuk. Suamiku masih setia menemaniku. Akhirnya ketubanku dipecahkan. Wahh rasanya bukan kepalang. Mulesnya itu benar-benar dahsyat. Aku sudah tidak kuat. Aku sudah bilang berkali-kali pada bidan untuk bilang ke Dr. Didi untuk di operasi saja. Aku sudah tidak kuat, dan tidak mau merasakan mulesnya lagi. Tapi para bidan itu terus menyemangati aku, tanggung katanya, sudah lewat separuh jalan. Aku terus meminta di operasi saja, aku berkali-kali minta dipanggilkan Dr Didi. Lewat jam 00.00 sudah masuk tanggal 5 Oktober. Kata para bidan sedikit lagi. Akhirnya detik-detik menegangkan itu harus aku lalui juga.

Selama ini hanya melihat di TV bagaimana seorang Ibu harus mengedan mendorong bayinya keluar. Sekarang aku mulai berusaha melakukannya. Suamiku terus disampingku. Aku berteriak-teriak berusaha mengedan. Berkali-kali aku salah mengedan juga. Ada 6 bidan yang memegangi tangan kaki dan punggungku. Aku tidak kuat. Akhirnya anakku harus dibantu dengan vakum. Itupun ada 6 kali aku belum bisa mengeluarkannya, saat sudah muncul kepala, Dr berteriak, "Dorong, 1 2 3.." tapi ditengah-tengah, aku kehabisan tenaga lagi. Akhirnya tangan Dr ikut masuk mengambil Evan, juga memperbaiki lilitan tali pusar di leher Evan. Ternyata Dr mengatakan posisi kepala Evan tidak menghadap ke bawah, tapi menghadap ke atas, jadi dia tidak bisa meluncur ke luar saat aku mengejan.

Akhirnya jam 00.29, Evan berhasil ke luar. Aku tidak mendengar tangisnya. Saat Dr. menarus Evan di dadaku, aku kaget, karena ujung kepalanya mencuat ke atas seperti benjol. "Ini kenapa Dr kepala anak saya",tanyaku sedih. "Tidakapa-apa, nanti juga kempes sendiri. Karena vakum tadi. Selamat ya Bu, akhirnya bisa juga." Setelah Evan diambil dari dadaku, baru kudengar dia menangis. Aku lega sekali. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Ternyata aku sudah dibius lagi. Jam 4 pagi aku baru sadar dari tidur. Ternyata aku tidur cukup lama. Katanya tekanan darahku drop. Jadi harus dibius. Akhirnya setelah aku dipindah ke ruang perawatan, aku baru bisa menggendong Evan.

Jika ingat mules dan detik-detik melahirkan Evan, rasanya aku tidak percaya, aku bisa juga melaluinya. Aku pikir aku cuma perkasa di saat sehat, tapi dalam keadaan sakit, aku tidak perkasa sama sekali. Aku emosional dan tidak terkontrol. Tapi akhirnya aku tidak di operasi lagi. Bisa merasakan operasi cesar saat arvind dan normal saat melahirkan Evan, juga memberi pengalaman berharga dalam hidupku. Dan benar saja, rasa sakit itu memang sudah tidak bisa kita rasakan lagi, ketika sudah melihat bayi mungil yang lucu ada dalam dekapan kita. Hanya bersyukur pada Tuhan pemberi kehidupan dan kekuatan. Terima kasihku juga karena memiliki suami yang sangat baik dan setia menemani aku. Dia juga bersama aku selama aku di rumah sakit. Saat melahirkan Evan ini papaku juga sangat tegang mendoakan aku. Adikku dan suaminya juga setia menemani saat-saat aku mules dahsyat,memijat tangan dan kakiku, memberi aku coklat bahkan menyanyikan lagu-lagu rohani. Kakakku selalu membisikkan pasrah, kuat, iklas, elu bisa, di telingaku. Doa mama ditelpon juga menguatkan aku. Yang aku takjub adalah aku hanya berteriak-teriak saat hendak melahirkan, aku tidak menangis. Tapi aku baru menangis, saat aku mendengar suara mamaku di telepon.

Umur sebulan

Begitulah teman, saat-saat aku membawa Evan melihat dunia. Banyak hal yang sudah aku lupakan juga. Masa-masa merawat Evan membuat saat-saat dulu melahirkan menjadi samar-samar rasanya. Apalagi saat ini sudah satu tahun aku bersama Evan. Aku masih harus banyak belajar menjadi Ibu. Tidak pernah berhenti. Terima kasih Tuhan, karena kesempatan ini. Terima kasih karena aku kau dampingi.


5 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar