Selasa, 01 Mei 2012

Va' dove ti porta il cuore (Pergilah Ke Mana Hati Membawamu)



“PERGILAH KE MANA HATI MEMBAWAMU…”
(Va’ dove ti porta il cuore )

Novel Italia karya Susanna Tamaro ini sangat berkesan buatku, selain aku menghadiri acara launching buku pertamanya di Kedutaan Besar Italia (6 tahun lalu), buku ini juga sanggup membuatku beruraian airmata. Karena cara menguraikan rasa yang dialihbahasakan oleh Antonius Sudiarja, SJ dalam buku ini, sangat menyentuhku. Ketika apa yang kita rasakan, tidak bisa dipahami oleh orang lain, ketika yang tidak paham itu merasa lebih berhak menentukan kapan airmataku harus menetes atau tidak, ketika yang berusaha mendamaikan itu malah menjadi pemisah dari cinta yang cuma bisa kami rasakan sendiri dalam kebisuan, ketika  hanya buku atau tulisan yang bisa mengungkapkannya dengan lebih baik, ketimbang harus berbicara dengan kalimat yang lebih sering menjadi kemarahan, karena berusaha mencari pembenaran dari hati yang masih terluka.

Seperti halnya buku Alkemis (Paulo Coelho) setiap aku terkesan akan satu buku, aku sering menghadiahkan buku itu buat orang-orang terdekatku, dan seperti buku Alkemis pula (yang hilang), aku harus kehilangan buku “Pergilah Kemana Hati Membawamu” ini ketika aku meminjamkannya pada orang lain. Tapi aku selalu tidak pernah menyesal telah banyak kehilangan buku, apalagi jika buku itu adalah buku yang bagus menurutku, hanya jika buku itu tidak teronggok di satu tempat, dan kehilangan jasanya sebagai penghibur jiwa.  Tadi malam, aku meminta lagi buku itu pada suamiku tercinta, (tempat aku bisa mendapatkan banyak buku ^_^ )untuk menyebarkan pengantar buku ini, melalui fesbuk, yang mudah-mudahan ada beberapa sahabatku & saudaraku di sana, yang tergerak membacanya.

(Begini PENGANTAR nya : oleh A. Sudiarja, SJ, p.11-18)

Kisah ini bercerita tentang Olga yang telah dua bulan ditinggal cucunya ke Amerika. Entah dimana dia berada, Olga tidak tahu. Sebaliknya sang cucu juga tidak tahu neneknya baru saja terkena serangan jantung dan mungkin tidak akan lama lagi hidupnya. Namun Olga memutuskan tidak akan memanggil cucunya pulang. Sebagai gantinya, ia menulis buku harian-atau lebih tepat “pengakuan”-mengenai kisah hidupnya, masa lalunya, perasaan-perasaannya, cinta, kekecewaan, dan penyesalannya terhadap cucunya. Pendek kata seluruh muatan batin yang disimpannya diungkapkannya kepada sang cucu, dengan harapan bila kelak cucunya pulang dan tidak mendapatinya lagi, sang cucu akan membaca buku hariannya ini dan memahami dirinya.

Mungkin tidak selalu mudah mengikuti seluruh penuturan Olga, tokoh utama novel ini, selain karena ia sering bertutur dengan alur kilas balik, juga karena dalam tulisannya tidak jarang ia menyisipkan gagasan filsafat. Namun bagi pembaca yang tidak sekedar puas dengan isi cerita, gagasan filsafat semacam itu adalah bagian keindahan yang tidak dapat dipisahkan. Artinya keindahan karya sastra meliputi juga isi gagasan, yang sering tidak cukup atau bahkan tak dapat diungkapkan dengan bahasa logis & sistematis, karena gagasan itu menyangkut kehidupan yang amat kaya. Dengan demikian , meskipun ada gagasan yang mendalam dalam karya ini, gagasan ini bukanlah “roti dari satu adonan yang mengenyangkan”, melainkan “racikan dan olahan dari berbagai bahan yang memberi kekayaan rasa”. Dengan kata lain, gagasan yang mungkin muncul dalam novel ini-berbeda dari traktat filsafat-justru merangsang pembaca untuk merenungi lebih jauh mister kehidupan.

NOVEL PEREMPUAN
Dalam seluruh penuturannya, novel ini adalah novel perempuan. Pelaku utamanya, Olga, menulis buku harian bagi cucunya, yang juga perempuan. Olga membuka kartu, bercerita mengenai penderitaannya sebagai perempuan di tengah keluarganya; kisah perkawinannya dengan Augusto, yang sekedar mengikuti tradisi; cinta sejatinya kepada Ernesto, yang dalam pandangan umum dinilai negatif;juga tentang Ilaria putrinya, seorang pemberontak dan feminis radikal; mengenai penderitaan perempuan pada umumnya, ibunya sendiri dan neneknya; dan kenangannya yang indah selama hidup bersama cucunya, yang sekarang meninggalkannya seorang diri. Dengan ringkas novel ini bercerita mengenai penderitaan dan kesepian seorang perempuan.

Dalam penuturannya, Olga sangat peduli pada aspek perempuan. Ketika ia membongkar gudang di loteng, ia menemukan barang-barang lama yang disimpan keluarga. Ia mengeluarkan cetakan kue tar dan segera saja perasaannya bicara,

“Cetakan ini milik nenekku, jadi nenek buyutmu dan itulah satu-satunya benda yang tersisa dari seluruh sejarah perempuan keluarga kita. Karena tersimpan lama di loteng, benda itu penuh karat. Jadi segera saja aku membawanya ke dapur, meletakkannya di bak cuci, dan mencoba mencucinya dengan menggunakan tanganku yang masih sehat dan penggosok yang sesuai. Bayangkan beberapa kali selama ini benda itu telah keluar-masuk oven, berapa oven berbeda dab selalu lebih modern yang telah ia saksikan, berapa banyak tangan berbeda namun toh sama yang telah mengisinya dengan adonan. Kali ini aku membawanya turun agar ia hidup lagi, agar kau dapat menggunakannya dan mungkin, pada giliranmu kau akan meninggalkannya untuk digunakan oleh anak-anak perempuanmu, karena sejarah cetakan kue sederhana inimerangkum dan mencerminkan sejarah generasi-generasi dalam keluarga kita..” Kepedulian itu memuncak menjadi semacam perasaan protes yang ditulis dengan tegas.

“Ketidakbahagiaan biasanya mengikuti garis perempuan; menurun dari ibu ke anak perempuannya, laksana kelainan genetika. Dan bukannya melemah dari generasi ke generasi, kelainan itu malah semakin kuat, sulit dilenyapkan dan dalam. Bagi lelaki, masalahnya sangat berbeda, mereka memiliki karir, politik, perangmereka, meereka bisa menyalurkan energi mereka. Kita tidak.Selama ratusan generasi kita hanya berkutat dari kamar tidur, dapur dan kamar mandi;kita telah mengambil ribuan langkah dan gerakan, dan setiap langkah&gerakan memiliki kemarahan dan ketidakpuasan yang sama. Apakah aku telah menajdi feminis?Tidak, jangan kawatir, aku hanya mencoba melihat dengan jelas ada apa dibalik semua ini..”

KEJUJURAN DAN REKONSILIASI
Akan tetapi ciri perempuan dalam novel ini tidak hanya terletak pada pelakunya yang perempuan, melainkan juga nuansa yang dibaurkannya. Pemikiran dan pembicaraanyang termuat di dalamnya memperlihatkan “kedalaman”, yang sering tersembunyi dalam kehidupan sehari-hari. Kedalaman inilah yang memungkinkan keintiman dalam hubungan manusia. Di dunia yang serbalelaki dan patriarkis, ekintiman ditekan, disembunyikan, tidak pantas dibicarakna, memalukan. Pdhal keintiman inilah yang sekarang kita butuhkan yang mendukung kita untuk bertahan dalam kehidupan yang keras dan berat. Pengakuan Olga melukiskan kedalaman jiwa, kehidupan batin intim yang ia miliki, yang ingin ia sampaikan kepada cucunya.

Haruskah orang-orang mengatakan apa adanya mengenai seluruh pengalaman hidupnya? Akan tetapi masalahnya tidaklah sederhana. Ketulusan dan kejujuran rupanya bukan sekedar imperatif moral yang harus diterapkan pada semua orang, melainkan bentuk komunikasi yang juga membutuhkan kesiapan hati masyarakat lingkunngannya. Betapa sering kita mendengar, masyarakat tak peduli terhadap pengakuan seseorang atau tak mau tahu tentang alasan-alasan mengapa seseorang melakukan tindakan tertentu. Lalu untuk apa ia mengaku?

Kejujuran tidak bisa dipaksa keluar melalui interogasi atau model pengalihan. Kejujuran memerlukan wilayah di mana orang saling percaya; saling percaya merupakan habitat di mana kejujuran bisa lahir. Inilah perjuangan Olga, yang ingin menuliskan pengakuannya. Selama 17 tahun ia berbohong atau lebih tepatnya menutup mulut mengenai kenyataan; Apakah itu bukannya justru mengejutkan dan merusak tatanan keluarganya?

Olga melukiskan tumbuhnya perbedaan antara ia dan cucunya seperti kulit kerang yang semakin lama semakin mengeras membungkus diri setiap manusia. Semakin tua seseorang, kulit kerang itu semakin keras, ketat, dan menyesakkan, sampai pada suatu saat, karena ia tidak mampu lagi menampung tubuh kehidupan, kulit kerang itupun lantas pecah dan menciptakan luka.

Sang nenek dan cucunya mempunyai fase hidup yang berbeda dalam pertumbuhan kulit kerang mereka. “Jadi saat aku berkata keretakan alami terjadi diantara kita, seperti itulah yang kumaksudkan. Saat kulit kerangmu mulai terbentuk, kulit kerangku mulai pecah-pecah. Kau tidak tahan menghadapi airmataku dan aku tidak tahan menghadapi kekerasan hatimu…”

Puncak rekonsiliasi ini termuat di bagian akhir novel. Setelah dengan hati-hati Olga menu mpahkan perasaannya, ia memohon agar dirinya dipahami dan dimaafkan. “ Belas kasih, kataku, bukan sikap mengasihani!!Jikalau kau mengasihani diriku, maka aku akan kembali sebagai orang jahat dan menyusahkanmu.”

Ia berharap cucunya tidak mengadili kesalahan-kesalahannya di masa lalu, tetapi mengampuninya. Dan Olga berharap cucunya dapat mengikuti kata hatinya sendiri, untuk pergi ke mana pun hati itu membawanya.Akhir kisah ini memberikan kiasan yang kuat, betapa Olga sebagai generasi lampau harus merelakan cucunya, generasi yang baru, untuk melangkah memasuki era baru, mengikuti hatinya sendiri. 

-END-
(kadang yang diharapkan untuk terus berjalan adalah diam sejenak, bukan penghakiman)
LOVE U MOM...
Dan kelak, disaat begitu banyak jalan terbentang dihadapanmu dan kau tak tahu jalan mana yang harus kau ambil, janganlah kau memilih asal saja, tetapi duduklah dan tunggulah sesaat. ....Lalu, ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar