Selasa, 01 Mei 2012

MENULIS



Ternyata benar kata mba Moi Kusman Ruzuar, aku juga menemukan 'me time' ku yang baru saat menulis (*alias mengetik). Saat menulis, aku seperti berkontemplasi. Kadang hanya ditemani suara TV yang asal saja aku setel, kadang hanya diiringi dengan suara kipas angin di ruang tamu. Saat-saat kontemplasi ini selalu disela juga oleh tangisan Evan jika ia digigit nyamuk, pipis, atau haus minta ASI. Pernah juga langsung ketiduran jika harus menyusui Evan, tapi seringnya aku bisa balik lagi ke laptop (*gaya tukul) walau sudah diinterupsi. 

Dulu, yang menghambat aku menulis adalah rasa malu, kalau tidak mau dibilang 'sombong'. Malu dianggap tulisanku jelek, malu dianggap menyombongkan diri, malu dikatakan narsis, malu disebut bodoh ceritanya. Tapi suatu ketika, aku mendapat quote (aduuhh tapi lupa, nanti kl ketemu ditambahkan disini) yang intinya, sebenarnya jika kita malu dianggap jelek, dianggap bodoh, itu berarti kita tidak rendah hati, karena maunya dianggap baik saja, maunya dinilai bagus saja. Padahal jika ada yang menganggap kita jelek, bodoh, miskin dan kita rendah hati menerimanya, menyikapinya dengan santai, tentu tidak ada yang perlu ditakutkan lagi untuk kita tampilkan. 

Aku memang bukan penulis buku, masih harus banyak belajar tentang tata bahasa, ejaan bahasa, tapi aku senang membaca. Bahkan dari 'membaca' aku bisa mendapatkan uang. Selalu punya cita-cita bisa punya buku sendiri yang ada namaku tertulis di cover depan. Wahhh, pasti mengharukan jika cita-citaku terwujud. Selalu senang dengan teman-teman yang sudah punya buku tulisannya sendiri, selalu terinspirasi dengan teman-teman yang suka & rajin menulis di blog. 

Ada beberapa orang yang membuat aku terinspirasi untuk menulis. Pertama, Mama dan Papaku. Kedua orang tuaku itu sangat suka menulis (dan membaca). Sampai saat ini, keduanya masih aktif menulis. Jangan anggap mereka menulis buku yang sudah pernah dicetak ya? Tapi Mamaku rajin sekali menulis ulang isi kitab suci, meringkas hasil seminar yang dia ikuti, masih rajin menulis jumlah uang masuk uang keluar, menulis ulang di banyak buku tanggal-tanggal lahir saudara, tanggal-tanggal bersejarah, dan yang aku ingat dulu saat aku SMA di Jogja, Mamaku rajin sekali menulis surat hingga berlembar2 kertas folio (bisa sampai 10-12 lembar). Beliau bisa menuliskan nasehat sampai cerita yang dia kerjakan. Dan takjubnya, mamaku menulisnya semua dengan kertas dan bolpoin. (*Tidak seperti aku yang sudah mudah cape jika harus menulis dengan tangan, maklum sekarang era ketik mengetik hehehe..) Papaku juga sama. Dia masih suka menulis, meringkas buku-buku filsafat, hukum, agama, belajar bahasa dengan cara menuliskan kembali (katanya jadi lebih mudah untuk mengingat kembali jika kita menuliskannya). Walau Papa tidak serajin Mama menulis, karena Papa sudah mengerti cara mengetik di komputer. Papa Mamaku masih sangat hobi membaca. Selain doa, kado yang paling mereka suka adalah buku. 

Lalu, orang berikutnya adalah Oprah. Oprah selalu identik dengan 'sharing,share, berbagi'. Jika kau tidak punya uang untuk dibagikan, mungkin kau punya cerita untuk disebarkan. Manusia itu pada dasarnya ingin berbagi, ingin dikenal, ingin didengar cerita hidupnya, bahkan Oprah suka mewawancarai orang-orang yang punya masalah dalam hidupnya, punya trauma, bahkan seorang pembunuh diajak untuk membuka rahasianya, mengungkapkan isi hatinya. Dan biasanya memang setelah orang tersbut mengungkapkan ceritanya di hadapan banyak orang, hatinya lebih ringan. Bahagianya jika kita punya audience yang bisa mendengar tanpa menghakimi. Ada tren juga, orang-orang yang menuliskan rahasia hidupnya dalam sebuah buku. Itu menunjukkan, bahwa menulis seperti obat dari himpitan tekanan. Oprah juga pernah menampilkan seorang Ibu yang divonis akan meninggal 6 bulan lagi, dan selama 6 bulan itu sang Ibu membuat dokumentasi video untuk anaknya tercinta. Dari hal sederhana, sampai cara memilih pasangan. Sang Ibu tidak mau kehilangan kesempatan yang ada untuk bisa memberikan kasih sayang, nasehat,cara-cara keterampilan hidup buat anaknya. Dan benar, ketika sang Ibu meninggal, video itu menjadi kenang-kenangan yang hidup untuk sang anak sampai dia besar.  

Ada lagi teman FB ku yang sudah meninggal. Malam sebelum meninggal, dia sempat mengomentari foto Arvind waktu itu. Aku juga mengaguminya, karena rasa sayangnya kepada anak-anaknya yang dia tunjukkan di FB. Saat dia meninggal, aku melihat-lihat album fotonya, tulisan-tulisannya. Aku bisa meneteskan airmata, walau aku tidak cukup dekat dengannya. Ternyata apa yang sudah dia tulis, tetap tinggal di dunia. Tulisan itu abadi. Aku membayangkan jika aku meninggal, setidaknya Arvind dan Evan masih bisa merasakan kehadiranku lewat tulisan-tulisanku, lewat foto yang aku buat tentang mereka. Hikks jadi sedih...  

Mudah-mudahan aku bisa terus menulis. Tidak peduli itu akan menjadi buku atau tidak. Yang terpenting adalah dari menulis aku belajar kerendahan hati, aku belajar berbagi, aku belajar introspeksi, aku belajar menghargai. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar