Selasa, 01 Mei 2012

Belajar di Rumah



Ternyata benar, keputusan tidak melanjutkan sekolah Arvind di Taman Kanak-Kanak adalah keputusan besar. Besar, karena aku seperti lahir kembali. Lahir kembali adalah seperti bayi yang tidak tahu apa-apa, tapi sangat ingin belajar. Lahir kembali adalah seperti bayi yang pasrah diasuh oleh sang ibu, sedangkan sang ibu buatku, suamiku, dan anakku adalah Sang Hidup itu sendiri. Jika bayi saja belajar melihat, membedakan cahaya, membedakan suara, bergerak, mengedip, menggenggam, belajar meminta sesuatu dengan menangis, maka aku juga mulai belajar melihat sekelilingku.

Sekelilingku yang paling lengkap sumbernya adalah internet. Aku mulai browsing dengan istilah homeschooling. Dimulailah perkenalanku dengan website rumahinspirasi.com. Tuhan seperti menuntun aku untuk menemukan blog/site rumahinspirasi ini. Aku langsung keasyikan membaca kisah keluarga Mba Lala dan Mas Aar. Hampir tiap hari aku membaca blog mereka dengan perasaan excited, bersemangat karena ternyata ada kehidupan anak-anak yang tidak bersekolah, namun belajar dengan passion mereka karena butuh belajar. Aku mulai mencoba menambahkan mba Lala sebagai teman fesbukku. Diterima. Senang sekali waktu itu. Aku melihat wall/dindingnya penuh inspirasi. Aku senang melihat persahabatannya dengan orang-orang yang concern dengan dunia pendidikan. Aku mulai berteman dengan beberapa teman beliau. Tanpa terasa sudah hampir 80 teman fesbukku yang adalah orang tua yang menjalankan homeschooling. Dari mereka aku banyak sekali mendapat kekuatan, ilmu, dan pelajaran. Betapa semakin hari aku semakin merasa bodoh, karena mereka berlari sangat cepat, sedang aku belum banyak belajar. 

Awalnya, aku memulai kegiatan arvind di rumah dengan mengikuti pola yang sudah aku lihat di sekolah arvind sebelumnya. Aku memulai dengan bernyanyi, bermain, berdoa, belajar dengan buku, dan makan. Tapi hal ini tidak berlangsung lama. Memiliki anak kedua yang masih balita, juga tidak membuat memindahkan kegiatan seperti di sekolah ke rumah, menjadi mudah. Sebentar-sebentar aku harus 'interupt' karena harus menyusui, memberi makan, mengganti celana yang kena ompol, seringnya kegiatan belajar dengan buku diramaikan dengan Evan yang juga ingin sekali belajar dengan kakaknya.

Aku hampir menyesalkan keputusanku menyetujui keputusan arvind keluar dari sekolah. Aku mulai ragu, apa kegiatan ini benar atau tidak. Saat-saat Arvind mulai bosan dengan kegiatan di rumah, aku menjadi semakin merasa bersalah. Aku bukan guru yang baik buat Arvind. Lalu aku mengatakan pada suamiku, mungkin Arvind aku suruh ikut les matematika. Awalnya ikut trial kumon. Walau awal trial arvind dinyatakan bisa masuk langsung level 3A, tapi aku kok tidak sreg mengikutkan arvind di kelas yang tiap datang mengerjakan 10 lembar soal, lalu selesai & pulang dengan membawa 10 lembar soal PR lagi. Aku hanya merasa tidak sreg. Aku pikir Jarimatika akan membuatnya fun dan happy, karena arvind juga suka memainkan jari2 tangannya. Tapi setelah 2 bulan mengikuti les, arvind mulai dilanda kebosanan. Aku sebenarnya menilai ini masalah gurunya saja, bahwa kegiatan jarimatika seharusnya bisa dibuat menyenangkan seperti tujuan awal sang pencipta jarimatika, seorang ibu Septi yang aku kagumi juga.

Walau semuanya kelihatannya mudah aku putuskan, sebenarnya hatiku bergejolak. Gelisah. Aku hanya tidak mau tampak linglung di mata anakku. Aku melihat dia sangat mempercayai aku. Menyayangi aku walaupun aku pernah "galak" saat mengajarinya matematika, tapi arvind lebih memilih aku kembali untuk belajar bersama dia. 

Saat merenungkan ini semua, aku selalu dikuatkan, bahwa yang terpenting dari menjalani pendidikan adalah perasaan bahagia/senang, berkali-kali aku menguatkan diriku, jika anakku tidak senang, berarti pendidikan itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Bukannya aku memanjakan anakku untuk melakukan apa yang dia senangi saja. Aku tetap ingin dia menguasai matematika, science, bahasa inggris, membaca, menulis, dan ilmu-ilmu lain. Tapi di masa-masa transisi dari masa kanak-kanak (yang banyak bermain) ke masa Pendidikan Dasar nya tahun depan, aku berusaha membuatnya 'happy' untuk semua yang ingin dia pelajari. Tidak mau membebaninya dengan sesuatu yang tidak dia senangi. Jika ada istilah "Better late than earlier", ini mungkin cukup menghibur aku. 

Kadang aku ditantang dengan pertanyaan beberapa orang, Arvind sudah bisa baca ya?Apa Arvind sudah bisa menulis bagus?Apa Arvind sudah jago matematikanya??Pertanyaan yang sama tapi dengan kondisi arvind bersekolah di sekolah formal, menjadi berbeda, jika dipertanyakan padaku saat arvind tidak sekolah. Aku seperti ditantang, apa yang sudah kamu perbuat untuk anakmu di rumah??Padahal saat anak bersekolah, beban itu terasa tidak terlalu berat. Kita orang tua seperti punya ban serep, bisa menyalahkan gurunya, yang bertanggungjawab atas kebisaan anak-anak kita. Sedang jika di rumah, apa kamu hanya membuat anakmu bermain, bermain, dan bermain saja? Ternyata aku belum tegar. Aku masih mudah disedihkan dengan 'asumsi' orang lain. 

belajar dari film
Aku mencoba melihat kebaikan saat arvind menonton film dari DVD-DVD nya. Arvind suka menirukan kalimat-kalimat pemain filmnya (mMenurutku dia sedang belajar). Dia pernah mematikan/pause bagian teks dalam film, lalu mulai membaca isi teks translation film itu (menurutku dia sedang belajar membaca). Dia menggambar dari film yang dia tonton (menurutku dia sedang belajar menggambar, berimajinasi). Dia berlari, melompat, ikut menari saat menonton film (menurutku dia sedang belajar gym seperti di sekolahnya, atau ikut ekskul dancing seperti di sekolahnya). Dia bermain dengan teman-temannya sore hari (menurutku arvind sedang belajar bersosialisasi dengan teman yang sebaya, lebih tua, dan lebih muda darinya). Dia mencuci sandalnya, sepedanya, ingin membuat kue martabaknya, membantu aku mengambilkan celana adiknya (menurutku dia sedang belajar keterampilan hidup). 

Aku mungkin naif, mungkin munafik, mencari pembenaran dari apa yang banyak orang pikir bukan belajar. Tidak membuat arvind duduk diam di kursi mengerjakan berlembar-lembar soal. (Walaupun pernah aku juga melakukannya). Aku mungkin kurang tegas saat arvind bosan jika aku suruh mengerjakan banyak soal dari buku. Aku hanya tidak mau memaksanya. Aku yakin arvind bisa belajar banyak hal dari hal-hal yang dia senangi. Aku tidak mau terjebak dalam patokan/standar anak yang hebat adalah anak yang ketika mau masuk SD di tes sudah bisa membaca lancar dan bisa berhitung penjumlahan dan pengurangan dengan cepat.

Aku harus percaya pada Arvind, bahwa anak yang hebat adalah anak yang tahu kelebihannya dan minatnya dengan baik, sehingga dia memiliki semangat naluriah/alami untuk mempelajari sesuatu. Anak yang hebat adalah anak yang tidak minder/tertekan karena harus menguasai dan mendapat nilai tinggi di semua ilmu/pelajaran. Dia yang paham bahwa hal yang tidak aku senangi tidak harus aku kuasai seluruhnya, hal yang aku senangi akan aku pelajari dengan maksimal.

Membuat anak tidak stres saat dia tidak menguasai sesuatu adalah tugas yang berat. Karena kita sudah banyak mendapat dogma, kalau bisa, anakku pintar semuanya. Pintar Math, Science, Menulisnya bagus, membacanya lancar, hafalannya kuat. Padahal kita sendiri tidak mau diperlakukan seperti itu. Betapa dulu aku juga berusaha mati-matian mendapat nilai bagus untuk mata pelajaran eksakta yang sebenarnya tidak aku sukai. Tidak ada yang salah untuk berusaha. Kesalahanku adalah aku tidak menemukan passion-ku saat aku sekolah, aku seperti harus punya passion pada semuabidang. 

Aku ingin anakku paham betul dirinya. Kekuatan dan kelebihannya. Jika nanti dia ingin sekolah SD, aku tetap akan menyekolahkannya. Aku ingin dia bisa merasakannya juga. Tapi jika suatu saat dia merasakan bahwa hatinya tidak gembira saat belajar di sekolah, tetaplah kuat Mel, bahwa anak-anakmu bisa belajar dimana saja. 

suka bola

Tidak ada komentar:

Posting Komentar