Selasa, 01 Mei 2012

Tidak (Mau) Sekolah (Lagi)




Mengistirahatkan Arvind dari bangku sekolah saat dia kelas TK B adalah keputusan penting dalam kehidupanku & suamiku (juga Arvind). Padahal kami mulai menyekolahkan Arvind sejak dia playgroup/nursery class. Awalnya Arvind sangat senang sekolah. Arvind memang senang berteman, dia senang dikelilingi banyak teman, dia senang bermain bersama. Awal masuk playgroup, Arvind sudah berani sendiri dan tidak menangis saat aku tidak di sampingnya.

Sampai suatu ketika (kira-kira lepas 3 bulan arvind sekolah di nursery class), Arvind menangis saat pulang sekolah, dan mengatakan dia tidak mau sekolah. Awalnya aku pikir mungkin dia mulai bosan. Saat aku paksa, dia mau juga berangkat sekolah. Tapi ketika sampai di sekolah, dia mulai menangis lagi, dia ingin aku ikut di kelas menemaninya. Arvind itu jarang sekali menangis. Dia hanya menangis jika jatuhnya sakit sekali atau jika hatinya "terluka". Benar saja, karena Arvind sudah terbiasa terbuka denganku, dia mengatakan alasannya kenapa dia tidak mau sekolah. Kata Arvind sang guru menyuruhnya untuk sit down nicely. Aku bilang pada Arvind,"OK Arvind jika sedang menulis/berdoa/makan harus sit down nicely tidak boleh lari-lari." Lalu dia bilang,"I may not go home if I don't sit down nicely." Dan tangisnya makin keras.

Teman-temanku bilang (sesama orang tua murid) bahwa itu biasa, nanti juga cepat lupa lagi. Aku pikir juga begitu. Tapi ternyata itu tidak semudah yang aku pikirkan. Arvind makin menangis keras jika sampai di sekolah. Tetap menyuruh aku menunggu di dalam kelas. Tapi saat aku tunggu di kelas, Arvind tetap menangis, bahkan pernah menangis hampir 1 jam. Aku mulai berpikir, bahwa ini serious problem. Mulai melihat ini bukan masalah sepele. Kenapa kita sering menganggap bahwa jika anak menangis, itu masalah biasa saja??Kalau dia menangis lebih keras, kita menganggap itu tangisan si pencari perhatian, atau tangisan si manja??Padahal, tangisannya adalah airmatanya, yang ingin mengatakan, bahwa aku sungguh-sungguh bersedih (atau terluka). 

Anak usia 3.5 tahun yang sedang senang-senangnya berlari, tertawa, bermain, melompat, harus disuruh diam dengan tangan dilipat di atas meja, mulut terkunci, mata menatap ke depan, tidak boleh tertawa, kaki tidak boleh bergerak-gerak. Anak usia playgroup yang harusnya berlari berhamburan keluar kelas dengan tawa lepas saat jam pulang selesai, harus menunggu sang guru memanggil satu per satu murid yang dianggapnya paling "kaku seperti patung" untuk bisa pulang lebih dahulu. Ternyata tangisan arvind itu, setelah untuk ke tiga kalinya Arvind dipanggil yang paling belakang, karena kakinya dan kepalanya masih bergoyang-goyang menanti dipanggil sang guru. Berarti Arvind awalnya masih menahan kesedihannya. Sampai teguran keras dari sang guru, bhw dia tidak boleh pulang, yang akhirnya melukai hatinya.Sebenarnya Arvind cukup toleran. Pelukan dan kata maaf saja sering sudah meluluhkan hatinya. Jika dalam hal ini dia tidak toleran, menurutku sang guru harus instropeksi diri. 

Arvind sudah cukup memahami percakapan bahasa Inggris. Kalimat "If U don't sit down nicely, you may not go home," sudah sangat jelas artinya buat dia. Mungkin sang guru pikir, kalimat itu tidak mengandung arti serius. Tapi buat arvind, kalimat tidak boleh pulang ke rumah, adalah ancaman yang menakutkan dia saat usianya 3.5tahun. Kira-kira satu bulan, arvind baru bisa self recovery. Setelah teman-teman sekelas dan gurunya datang ke rumah, menyuruh arvind sekolah lagi. Bahkan saat hampir mau satu bulan arvind tidak sekolah, saat teman-temannya datang, Arvind masih 'buang2 air/mencret" yang menurutku karena masalah psikologisnya (karena aku masih merayunya utk sekolah setiap hari).

Aku menulis panjang lebar di surat untuk sang guru dan kepala sekolah. Aku berikan buku Brilliant Parents Fascinating Teachers juga untuk mereka baca. Selama tidak sekolah itu, aku dan Arvind sama-sama mencari alternatif sekolah lain untuk pindah, walau akhirnya arvind memilih sekolah kembali di tempat yang lama, karena kangen dengan teman-temannya. 

Dengan segala suka dukanya, Arvind bisa sekolah di situ sampai K-1 Class atau TK-A. Term akhir di TK-A, Aku mulai banyak gelisah dengan keadaan sekolah. Dengan regulasi, dengan pola asuh pola ajar, dan lebih-lebih sistem pendidikan yang diterapkan. Sampai suatu ketika, Arvind mengatakan,"The school is bad.I don't want to go to school anymore." Cukup lama, setiap hari, aku menantang Arvind, "Benar, Arvind tidak mau sekolah lagi?" "Iya, Ma, Arvind belajar sama mama saja. Arvind cape sekolah. Guru-gurunya marah-marah terus." "Loh..nanti kangen sama teman-teman Arvind?" "Iya, nanti kalo Arvind kangen, Arvind main ke rumah mereka satu-satu." Setiap hari aku selalu menanyakan keputusannya sendiri untuk belajar di rumah saja. Dan akhirnya, final, Arvind bertahan pada keputusannya. Aku salut pada pendiriannya. Aku saja masih takut, ragu, dengan keputusan yang dia ambil. Sebagai orang tua, aku berhitung dengan uang yang sudah kami bayarkan di muka, dulu aku takut dengan penilaian orang lain juga terutama penilaian keluarga besar juga tetangga. Aku ingin membuatnya sekolah lagi. Tapi Arvind lebih kuat daripada aku. Aku yang gelisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar